Jakarta, Otoritas – Di hari Minggu cerah, (06/09/2020), laki-laki muda berusia 31 tahun itu dengan antusias mengisahkan bagaimana ia berjuang untuk menghidupkan ekonomi kreatif dengan menghadirkan saung-saung kuliner di sela-sela pohon mangrove di kawasan Kampung Sembilangan Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Ternyata di daerah tersebut terdapat lokasi alam yang merupakan hutan mangrove yang cukup menarik untuk dikunjungi. Dengan menggunakan perahu berdaya tampung 15-20 orang, terdapat 80 perahu yang sejak pukul 08.00 hingga 18.00 WIB dengang tarif lima belas ribu rupiah pulang pergi, dari hari Senin hingga Minggu siap melayani masyarakat yang hendak berwisata alam menikmati keindahan hutan mangrove.
Namanya Mustanah, tetapi kami sering menyapanya dengan sebutan Kang Mus. Pria kelahiran Bekasi tahun 1989 adalah Pemuda Pelopor tahun 2019. Itu menunjukkan kesungguhannya baik dalam berkonsep tentang pengembangan edukasi pariwisata kearifan lokal di tempat tinggalnya dan mewujudkannya di tengah kehidupan masyarakat.
Dengan murah hati ia menawarkan jasa naik kayak (perahu) yang berkapasitas 6 orang. Siang itu kami berempat menaiki kayaknya sambil mengitari wilayah hutan mangrove yang oleh pemerintah Kecamatan Babelan dinyatakan sebagai wilayah Ekowisata Hutan Mangrove Sungai Rindu.
“Saya melihat banyak orang-orang yang datang dengan naik perahu ke hutan mangrove untuk berfoto,” ujarnya. Itulah yang menjadi inspirasi dan motivasi mengapa tidak hutan mangrove tersebut dimanfaatkan untuk ekonomi rakyat? Pikirnya dalam hati.
Lalu dengan semangat 45 ia mulai menggerakkan dan memberi motivasi kepada para remaja/pemuda di kampung Sembilangan. Mereka membentuk IRTRA (Ikatan Remaja Putra-Putri Sembilngan) dan Mustanah sendiri yang menjadi ketuanya.
Kegiatan IRTRA awalnya memang lebih cenderung ke kegiatan kerohanian Islam di masjid layaknya remaja-remaja masjid pada umumnya. Lalu dalam perjalanan waktu sesuai dengan program pemerintah di bidang pariwisata terlebih lagi dengan potensi yang ada di kampungnya maka terbentuklah POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata), ia juga yang menjadi ketuanya.
Meyakinkan keluarga bahkan masyarakat merupakan tantangan terbesar dalam mewujudkan gagasannya. Pada umumnya mereka tidak percaya. Tetapi dengan ketekunan dan kesungguhannya. Ia pertama kali mengajak orangtuanya untuk membuka saung di daerah mangrove tersebut. Dan kakaknya yang ia dekati untuk memodali agar ayahnya mau mendukungnya mewujudan gagasannya dengan membuka Saung pertama di Sungai Rindu.
“Sepuluh pemuda yang tergabung dalam IRTRA urunan sebesar dua ratus ribu rupiah per orang. Dengan modal awal dua juta rupiah itulah terbangun jalan / trek dari tiang dan jalan bamboo sepanjang 30 meter. Di luar dugaan 200 orang mendatangi silih berganti ke Saung Sungai Rindu. Kini sudah terbangun seratus meter jalan. Dan kini sedang dibuat tambahan jalan dan taman di pinggir hutan mangrove.
Dari satu warung/saung tersebut maka berdatanganlah orang-orang yang ingin ikut membuka usaha di hutan Mangrove tersebut. Kini terdapat 15 saung dengan masing-masing teknik dan skill masing-masing membangun Saung. Terwujud memang dan masyarakat yang membutuhkan wisata murah dan di hutan mangrove segar terpenuhi.
“Modal awal saya waktu itu lima juta rupiah,” ungkap Mamat pemilik Saung Mpo Sabie.
“Jika ditotal-total jumlahnya kini sudah tiga puluh juta,” jelasnya lagi.
Tetapi kini mereka sudah merasakan manfaat ekonomi kreatif dari pariwisata tersebut yang sudah berjalan kurang lebih 3 tahun. Asa yang mereka kejar dalam mengembangkan pariwisata sudah semakin nampak buah manis dari akar pahit yang mereka terus pupuk.
Ada rona secercah harapan di wajah Mustanah ketika ia kami wawancarai. Di tengah suara bising pengunjung ia bersuara lantang mengisahkan bagaimana perjuangannya. Yang menarik dari kisah pemuda pelopor ini sambil tertawa ia mengungkapkan untuk memviralkan lokasi Sungai Rindu mengirim gambar dekor tulisan Sungai Rindu dan memasukkan ke google. Alhamdulilah, Puji Tuhan tekniknya berhasil.
Dengan semangat di awal mereka membangun trek jalan untuk menuju hutan mangrove dan tentunya Saung-saung tempat berisitirahat, melepas lelah, menyegarkan mata dan memanjakan lidah dengan olahan masakan lezat. Apa saja dan dari mana bahan baku makanan tersebut? Ikan Bandeng dan Udang yang segar diambil langsung dari tambak-tambak petani tambak di Kampung Sembilangan tersebut. Mustanah sendiri memiliki tambak seluas 1 hektar.
Saat itu Kang Mus dengan rela layaknya pemandu wisata menghantar kami menyusuri hutan mangrove dan kami menjejaki memasuki wilayah perkampungan. Ternyata dampak positif dari dibukanya Ekowisata Hutan Mangrove masyarakat kampung Sembilangan pun memanfaatkan lahan mereka untuk membuka saung-saung dengan menyajikan aneka hidangan dan lahan-lahan kosong untuk parkir wisatawn lokal tersebut yang membaw motor maupun mobil. Pengunjung yang datang membawa motor dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000.- dan Rp. 15.000.- bagi mobil.
Sejumput asa mengembangkan pariwisata yang digagas Kang Mus memberikan dampak yang cukup baik bagi masyarakat dalam penambahan income mereka. Tetapi Nampak akhirnya persaingan secara nyata terjadi dan masing-masing membuka pelang ekonomi sendiri secara alami. Meski ada Kelompok Sadar Wisata yang dibina pemerintah tetapi belum menyentuh penyataan ekowisata secara terintegritas.
Banyak hal yang harus ditata, instansi terkait seperti Dinas atau Sudin Paiwisata masih belum menyentuh mereka. Banyak harapan-harapan mereka seperti penataan tonggak untuk membangun trek seyogyanya dari bahan cor dan keseragaman arsitektur dan penataan dengan sentuhan seni interior perlu diterapkan intinya edukasi prinsip-prinsip pengembangan zona pariwisata harus terus-menerus dilakukan oleh pemerintah. Temasuk pembinaan kepada masyarakat dalam menghadirkan variasi kuliner dan souvenir yang bertemakan kekayaan lokal harus terus dikembangkan.
Hingga tulisan disajikan kami masih belum berhasil menghubungi pejabat terkait pemangku kebijakan. Dan tentu dialog dan sharing akan dilakukan dalam pertemuan membahas pariwisata ini. Kita semua yakin hal yang baik yang dipelopori oleh Mustanah dan pegiat pariwisata harus kita dukung.
Sehingga asa pengembangan pariwisata Sungai Rindu tidak sekedar asa tetapi dapat terwujud dan semakin dikembangkan semakin meningkatnya animo masyarakat. Semoga! (Johan Sopaheluwakan / Sarwini)